HAM dalam ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Agama Islam yang mulia telah mengatur seluruh aspek kehidupan manusia menuju kebahagian dunia dan akherat.Namun banyak orang yang tidak mengetahuinya dan banyak pula yang enggan menerimanya dengan dalih-dalih yang beraneka ragam banyaknya.
Tidak dipungkiri lagi mengajak manusia untuk taat kepada Allah dan beribadah hanya kepadaNya dizaman ini secara umum mengalami kesulitan dan kendala.Terlalu banyak pemikiran dan isu yang menghalangi manusia mencapai kebenaran yang dibawa agama Islam ini. Sebenarnya Allah telah menjanjikan kemenangan dan kejayaan untuk islam dalam firman-Nya (Q.S at-Taubah : 33) yang artinya : “Dialah Allah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk (Al-Qur’an) dan agama yang benar untuk diunggulkan atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai”.
Dalam kajian singkat ini kita mencoba menjelaskan permasalahan Konsep Hukum, Hak Asasi Manusia dan Demokrasi dalam Pandangan Islam dengan harapan bisa mengetahui sebatas mana kebenaran isu ini dan syubhat yang dilontarkan kepada kaum muslimin seputarnya.
1.2Rumusan Masalah
a. Bagaimana hukum dalam islam?
b. Apa pengertian HAM?
c.Apa perbedaan prinsip HAM barat dan dalam Islam?
d. Bagaimana demokrasi dalam Islam?
1.3 Tujuan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk bertambahnya pemahaman konsepsi hukum dalam Islam, HAM dan Demokrasi dalam Islam serta keterkaitan antara ketiganya.Dan agar dapat membedakan antara pengertian HAM Barat dan HAM dalam pandangan Islam.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Hukum dalam Islam
Hukum merupakan seperangkat norma atau aturan yang dibuat dengan cara-cara tertentu dan ditegakkan oleh pemimpin sehingga tercapainya hak-hak manusia. Bentuk hukum bisa berupa hukum tertulis dan tidak tertulis.Hukum tertulis berupa perundang-undangan yang telah disusun sistematis oleh negara demi kesejahteraan rakyat. Demikian hukum tidak tertulis yaitu seperti hukum adat, hukum yang muncul karena kebiasaan atau adanya pengaruh-pengaruh eksternal maupun internal.Hukum adat terjadi sebagian karena pengaruh kepercayaan masing-masing. Seperti Bali mayoritas penganut agama hindu, sehingga seseorangpun jika tinggal disana sedikit banyak akan terpengaruh dan mengikuti adat dari Hindu, pengaruh-pengaruh spiritual seperti kepercayaan terhadap mistis menjadikan seseorang melakukan adat yang mungkin orang modern sekarang sangat tidak masuk akal seperti memberi sesajen diperempatan jalan dan lain sebagainya. hukum dibuat oleh manusia untuk mengatur hubungan manusia satu sama lain dan harta bendanya. Tidak dengan hukum Islam yang langsung bersumber dari Firman Allah dan sebarkan melalui Rasul-Nya. Hukum Allah lebih luas cakupannya, karena tidak hanya membahas seputar mengatur hubungan manusia dengan manusia melainkan juga hubungan dengan Tuhan, hubungan dengan dirinya sendiri masyarakat dan alam sekitarnya.
Hukum Islam dalam pengertian secara syar’i digariskan dalam 2 garis besar yakni ;
Ibadah dan Mu’amalah.
1. Ibadah adalah amalan yang wajib dilakukan oleh seorang muslim dalam menjalankan hubungan dengan Allah, seperti shalat, membayar zakat, melaksanakan ibadah haji bagi yang telah mampu. Ini adalah tata cara hukum dalam islam yang mutlaq, tidak pernah berubah hukumnya, tidak pernah berkurang bahkan bertambah. Dengan demikian tidak mungkin terjadi proses yang menyebabkan perubahan secara asasi menurut hukum, susunan dan tata cara ibadah tersebut. Yang mungkin berubah hanyalaah alat-alat yang semakin modern dan pelaksanaannya.
2. Mu’amalah mencakup hungan antara manusia dengan sesamanya dalam berusaha mensejahterakan kehidupan sosial mereka dengan usaha, berupa jual-beli, sewa menyewa, pinjam meminjam, persekutuan dan lain-lain.
Sumber sumber hukum islam bisa kita fahami dari ayat Allah dalam surat Q.S An-Nisa’; 59
Artinya : “wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri diantara kamu. Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia pada Allah (Al-qur’an) dan Rasul (sunnahnya) jika kamu benar-benar beriman kepadaa Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik(akibatnya)”.
2.2 HAM dalam pandangan Islam
Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan seperangkat hak yang menjamin derajatnya sebagai manusia. Hak-hak inilah yang kemudian disebut dengan hak asasi manusia, yaitu hak yang diperoleh sejak kelahirannya sebagai manusia yang merupakan karunia Sang Pencipta tanpa mengganggu hak- hak orang lain. Dan hak ini harus dijaga yang tidak boleh diabaikan. Rasulullah pernah bersabda, “ Sesungguhnya darahmu, hartamu dan kehormatanmu haram atas kamu”. Dan negara bukan hanya harus menahan diri untuk tidak menyentuh hak-hak asasi ini melainkan mempunyai kewajiban memberikan dan menjamin hak-hak ini.Sebagai contoh negara wajib menjamin perlindungan sosial terhadap rakyatnya tanpa melihat perbedaan Ras, jenis kelamin dan sebagainya.Dan Islam sangat menjunjung tinggi hak-hak asasi ini, seperti yang terjadi pada zaman kepemimpinan Abu Bakar as-Shiddiq, beliau memerangi orang –orang yang tidak mau membayar zakat.begitupun pembelaan Rasullah yang gigih dalam menegakkan HAM ini lewat pertemuan besarnya pada Haji wada’.Dari Umamah bin Tsa’balah, nabi SAW bersabda, “ Barangsiapa merampak hak seorang muslim, maka dia telah berhak masuk neraka dan haram masuk surga.” Seorang pria berkata, “meskipun itu sesuatu yang kecil?” beliau menjawab, “ meskipun hanya sebatang kayu arak.” HR. Muslim
Islam berbeda dengan sistem lain dalam menyikapi bahwa hak-hak manusia sebagai hamba Allah tidak bisa tergantung pada pemimpin dan Undang-undangnya, melainkan semuanya harus mengacu pada yang telah disyariatkan dalam islam. Sampai shadaqohpun tetap dipandang sebagai hal-hal yang besar lainnya. Misalnya Allah melarang beshadaqoh(berbuat baik) melalui cara yang buruk. “ dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya..” (Q.S Ali Imron ; 267)
2.3 HAM dalam pandangan Barat
Hak asasi manusia ini muncul setelah Revolusi Perancis, Pada waktu para tokoh borjuis berkoalisi dengan tokoh-tokoh gereja untuk merampas hak-hak rakyat yang telah mereka miliki sejak lahir. Akibat dari penindasan panjang yang dialami masyarakat Eropa dari kedua kaum ini, muncullah perlawanan rakyat dan yang akhirnya berhasil memaksa para raja mengakui aturan tentang hak asasi manusia.Dalam HAM barat, manusia lah yang menjadi tolak ukur segala sesuatu.Hal ini dikarenakan manusia menjadi pusat segala sesuatu, dan bangsa Barat beranggapan bahwa kebebasan manusia itu merupakan suatu hak asasi.
Secara umum HAM dibagi menjadi dua yaitu:
a. Hak asasi alamiah manusia sebagai manusia, yaitu menurut kelahirannya, seperti: hak hidup, hak kebebasan pribadi dan hak bekerja.
b. Hak asasi yang diperoleh manusia sebagai bagian dari masyarakat sebagai anggota keluarga dan sebagai individu masyarakat, seperti: hak memiliki, hak berumah-tangga, hak mendapat keamanan, hak mendapat keadilan dan hak persamaan dalam hak.
Terdapat berbagai klasifikasi yang berbeda mengenai hak asasi manusia menurut pemikiran barat, diantaranya :
1. Pembagian hak menurut hak materiil yaitu: hak keamanan, kehormatan dan pemilihan serta tempat tinggal, dan hak moril, yang termasuk di dalamnya: hak beragama, hak sosial dan berserikat.
2. Pembagian hak menjadi tiga: hak kebebasan kehidupan pribadi, hak kebebasan kehidupan rohani, dan hak kebebasan membentuk perkumpulan dan perserikatan.
Pembagian hak asasi ini semata mata hanya untuk membendung pengaruh Sosialisme dan Komunisme, partai-partai politik di Barat mendesak agar negara ikut campur-tangan dalam memberi jaminan hak-hak asasi seperti untuk bekerja dan jaminan sosial.
Perbandingan antara HAM versi Islam dengan Konsep HAM barat
1. Sisi Sumber Pengambilan Hukumnya
HAM barat dibuat oleh manusia sehingga kebenarannya masih tidak dapat di pertanggung jawabkan atau tidak luput dari kesalahan. Sedangkan HAM dalam islam di ambil dari kitap suci al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah yang tidak berbicara dengan hawa nafsu. Sehingga Ham versi syariat adalah Rabbaniyatul mashdar.
2. Konsekuensi hukuman
Konsekuensi HAM barat hanyalah sekedar konsep dan harapan yang berasal dari PBB tidak ada paksaan dan konsekuensi hukum dan tidak juga ada konsekuensi bila tidak dapat dijalankan dengan satu hukum undang-undang. Sedangkan HAM dalam islam bersifat abadi, pati, memiliki konsekuensi hukum dan tidak menerima pelaksanaan parsial, penghapusan dan perubahan. Setiap individu harus melaksanakannya dengan berharap pahala dari Allah dan takut dari adzab-Nya. Siapa yang sengaja mentelantarkannya maka pemerintah dalam islam berhak memaksanya untuk melaksanakan dan menerapkan hukuman syar’i atasnya pada keadaan tidak dilaksanakannya hal tersebut.
3. Lahirnya istilah HAM
HAM dunia pertama kali ada pada tahun 1215 M atau diabad ke 13 Masehi. Sedangkan islam mengenal konsep dan HAM sejak awal munculnya Islam.
4. Perlindungan HAM dan Jaminannya
Dalam HAM barat perlindungan internasional tidak ada kecuali hanya himbauan etika dan usaha-usaha yang belum sampai pada batas pelaksanaannya. Hal ini dibagi menjadi dua diantaranya yaitu:
a) Usaha kesepakatan berdasar umum dan pengakuan antara seluruh negara
b) Usaha meletakkan hukuman yang dipakai untuk menghukum negara yang melanggar HAM.
Hal ini pada dasarnya hanya tersurat saja dan cenderung pada hasrat manusia itu sendiri. Sedangkan HAM dalam islam, HAM tersebut adalah anugerah Allah kepada manusai sebagai pelindung dan penjamin. Hal itu karena:
a. Suci yang terselubungi kewibawaan dan pemuliaan, dikarenakan turun dari sisi Allah sehingga menjadi penghalang bagi pribadi dan pemerintah secara sama dari melanggar dan melampai batasannya.
b. Pemuliaanya bersumber dari dalam diri yang beriman kepada Allah.
c. Tidak bisa di hilangkan, dihapus dan dirubah.
d. Tidak ada sikap ektrim baik terlalu melampaui batas atau tidak dihiraukan.
Ditambah lagi untuk menjaga HAM dan syariat, diadakan Hudud syari’at dan aturan peradilan untuk melindungi HAM.
5. Bersifat universal
Dalam HAM islam memiliki keistimewaan atas selainnya dalam keuniversalan konsep HAM nya. Sebagian HAM dalam islam yang belum tercantum dalam HAM dunia ialah:
a) Hak anak yatim, dalam HAM internasional hanya ada isyarat pemeliharaan anak yatim saja. Sedangkan dalam islam ada perhatian khusus terhadap anak yatim, penjagaan hak-haknya dan anjuran berbuat baik kepada mereka dengan seluruh jenis kebaikan. Bahkan memberikan pahala atas hal tersebut. Allah berfirman: “Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu Makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar.” (an-Nisaa’: 2 ).Bahkan memberikan balasan terhadap orang yang memakan harta yatim dengan zhalim seperti dalam firman Nya: “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (an-Nisa`: 10)
b) Hak orang yang lemah akalnya. Islam memberikan perhatian dan menjaga hak-hak mereka, seperti dijelaskan dalam firman Allah : “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.” (an-Nisaa’: 5)
c) Hak Waris. Hak ini banyak diabaikan dan tidak diperhatikan dalam HAM internasional, namun islam memberikan perhatian yang besar atas hak waris ini hingga menjelaskan semua tata cara pembagiannya dengan lengkap dalam al-Qur`an. Seperti dijelaskan dalam firman Allah: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.”(an-Nisaa`: 7).
Bahkan nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda: “Sampaikan bagian warisan kepada ahlinya lalu yang tersisa untuk lelaki yang paling berhak.” (HR al-Bukhori)
d) Hak membela diri. Hak ini tidak disampaikan juga dalam HAM dunia, Di dalam islam disampaikan Allah dalam beberapa ayat dan juga dalam beberapa hadits, seperti firman Allah: “Bulan Haram dengan bulan haram, dan pada sesuatu yang patut dihormati Berlaku hukum qishaash. oleh sebab itu Barangsiapa yang menyerang kamu, Maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (Al-Baqarah: 194)
Bahkan Allah perintahkan Jihad dan mempersiapkannya untuk itu, seperti firman Allah : “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).” (al-Anfaal:60)
e) Hak memaafkan. Pernah ada muktamar HAM yang diadakan kementrian hukum (Wizarah al-‘Adl) Saudi Arabia pada bulan shofar 1392 H bertepatan dengan bulan maret 1972 M dengan dihadiri sebagian tokoh HAM dunia. Setelah adanya penjelasan tentang HAM versi Syaria tislam, maka Pimpinan delegasi Komisi HAM dunia dalam pertemuan tersebut bernama Mr. Max Braid menyatakan: “Dari sini dan dari negeri islam ini, wajib untuk menampakkan HAM bukan dari negara lain dan wajib bagi ulama muslimin untuk menyebarkan hak-hak yang tidak diketahui oleh internasional dan ketidak tahuan hal ini yang menjadi sebab rusaknya wajah islam dan muslimin serta hukum islam.”
Bahkan salah seorang anggota delegasi sempat berkomentar: “Saya sebagai seorang nashrani mengumumkan bahwa dinegeri ini Allah disembah secara hakekatnya (benar) dan para ilmuwan sepakat menyatakan hukum-hukum al-Qur`an telah menjelaskan masalah HAM setelah mendengarnya dan melihat langsung realita penerapannya.
2.4 Demokrasi Islam
Secara etimologi (lughawi), kata Demokrasi yaitu Democratie berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari kata :demos yang berarti rakyat dan cratos yang berarti kekuasaan. Lebih dikenal dengan istilah Kedaulatan Rakyat, rakyatlah yang berkuasa dan berhak mengatur dirinya sendiri.Makna kata ‘Kedaulatan’ itu sendiri ialah “sesuatu yang mengendalikan dan melaksanakan aspirasi”.
Secara terminologi (ishtilaahi), Demokrasi secara lugas ialah Sistem Pemerintahan yang secara konseptual memiliki prinsip dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.Maka, dikenal istilah vox populi vox dei (suara rakyat suara Tuhan).
Demokrasi menurut Islam dapat diartikan seperti musyawarah, mendengarkan pendapat orang banyak untuk mencapai keputusan dengan mengedepankan nilai – nilai keagamaan.
Konsep demokrasi tidak sepenuhnya bertentangan dan tidak sepenuhnya sejalan dengan Islam
1. Demokrasi tersebut harus berada di bawah payung agama.
2. Rakyat diberi kebebasan untuk menyuarakan aspirasinya.
3. Pengambilan keputusan senantiasa dilakukan dengan musyawarah.
4. Suara mayoritas tidaklah bersifat mutlak meskipun tetap menjadi pertimbangan utama dalam musyawarah.
5. Musyawarah atau voting hanya berlaku pada persoalan ijtihadi; bukan pada persoalan yang sudah ditetapkan secara jelas oleh Alquran dan Sunah.
6. Produk hukum dan kebijakan yang diambil tidak boleh keluar dari nilai-nilai agama.
7. Hukum dan kebijakan tersebut harus dipatuhi oleh semua warga.
Banyak kalangan non-muslim (individual dan institusi) yang menilai bahwa tidak terdapat konflik antara Islam dan demokrasi dan mereka ingin melihat dunia Islam dapat membawa perubahan dan transformasi menuju demokrasi.Robin Wright, pakar Timur Tengah dan dunia Islam yang cukup terkenal menulis di Journal of Democracy (1996) bahwa Islam dan budaya Islam bukanlah penghalang bagi terjadinya modernitas politik.
Dalam menjelaskan sejumlah miskonsepsi umum di Barat, Graham E Fuller (mantan Wakil Direktur National Intelligence Council di CIA) menulis di Jurnal Foreign Affairs: “Kebanyakan peneliti Barat cenderung untuk melihat fenomena politik Islam seakan-akan ia sebuah kupu-kupu dalam kotak koleksi, ditangkap dan disimpan selamanya, atau seperti seperangkat teks baku yang mengatur sebuah jalan tunggal. Inilah mengapa sejumlah sarjana yang mengkaji literatur utama Islam mengklaim bahwa Islam tidak kompatibel dengan demokrasi. Seakan-akan ada agama lain yang secara literal membahas demokrasi”. Banyak kalangan sarjana Islam yang kembali mengkaji akar dan khazanah Islam dan secara meyakinkan berkesimpulan bahwa Islam dan demokrasi tidak hanya kompatibel; sebaliknya, asosiasi keduanya tak terhindarkan, karena sistem politik Islam adalah berdasarkan pada Syura (musyawarah).sejumlah intelektual dan sarjana Islam lain yang bersusah payah berusaha mencari titik temu antara dunia Islam dan Barat menuju saling pengertian yang lebih baik berkenaan dengan hubungan antara Islam dan demokrasi. Karena, kebanyakan diskursus yang ada tampak terlalu tergantung dan terpancang pada label yang dipakai secara stereotip oleh sejumlah kalangan.Realitasnya adalah bahwa Islam tidak hanya kompatibel dengan aspek- aspek definisi atau gambaran demokrasi di atas, tetapi yang lebih penting lagi, aspek-aspek tersebut sangat esensial bagi Islam. Apabila kita dapat melepaskan diri dari ikatan label dan semantik, maka akan kita dapatkan bahwa pemerintahan Islam, apabila disaring dari semua aspek yang korelatif, memiliki setidaknya tiga unsur pokok, yang berdasarkan pada petunjuk dan visi Alquran di satu sisi dan preseden Nabi dan empat Khalifah sesudahnya (Khulafa al-Rasyidin) di sisi lain.
o Pertama, konstitusional. Pemerintahan Islam esensinya merupakan sebuah pemerintahan yang `’konstitusional”, di mana konstitusi mewakili kesepakatan rakyat (the governed) untuk diatur oleh sebuah kerangka hak dan kewajiban yang ditentukan dan disepakati. Bagi Muslim, sumber konstitusi adalah Alquran, Sunnah, dan lain-lain yang dianggap relevan, efektif dan tidak bertentangan dengan Alquran dan Sunnah.
o Kedua, partisipatoris. Sistem politik Islam adalah partisipatoris. Dari pembentukan struktur pemerintahan institusional sampai tahap implementasinya, sistem ini bersifat partisipatoris. Ini berarti bahwa kepemimpinan dan kebijakan akan dilakukan dengan basis partisipasi rakyat secara penuh melalui proses pemilihan populer. Aspek partisipatoris ini disebut proses Syura dalam Islam
o Ketiga, akuntabilitas. Poin ini menjadi akibat wajar esensial bagi sistem konstitusional/partisipatoris. Kepemimpinan dan pemegang otoritas bertanggung jawab pada rakyat dalam kerangka Islam. Kerangka Islam di sini bermakna bahwa semua umat Islam secara teologis bertanggung jawab pada Allah dan wahyu-Nya.
BAB 3
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Nampaknya, entah itu di kalangan barat maupun Islam memiliki perbedaan berikut persamaan dalam mengartikan demokrasi, dan terlepas dari itu semua, pada tataran konsep, memang apapun sistem politik yang digunakan dalam menjalakan sebuah roda pemerintahan dan negara pada dasarnya adalah ideal dan baik, begitu pun dengan demokrasi, demokrasi memang pada tataran idea dan konsepnya merupakan sebuah sistem politik yang dianggap terbaik dari sistem politik yang ada, namun pada tataran praktis para demokrat yang hidup di alam demokrasi tersebut terkadang melenceng dari koridor demokrasi yang ada, dengan mengkhianati konsep-konsep demokrasi yang ideal tersebut, yang mesti dikedepankan kemudian adalah komitmen dalam menjalankan sebuah sistem politik, dengan mengikuti koridor-koridor yang ada, apa pun itu sistemnya, termasuk demokrasi.
Sebenarnya sangat – sangat-sangat mudah untuk membedakan konsep HAM demokrasi versi ‘barat’ dengan prinsip HAM – demokrasi versi kitab suci secara mendasar :
prinsip HAM - demokrasi ‘barat’ berlandaskan prinsip liberalisme sehingga sering memberi ruang kepada individu atau kelompok atau kegiatan yang salah,yang buruk yang tidak baik menurut pandangan agama untuk eksist,sehingga suatu yang oleh agama didefinisikan sebagai ‘ketidak benaran’ atau suatu yang oleh agama didefinisikan sebagai sebuah keburukan sering ‘dibenarkan’ dengan mengatasnamakan prinsip HAM –demokrasi,sehingga prinsip ini sering digunakan oleh individu atau kelompok tertentu sebagai alat kala berbenturan dengan para agamawan.
Sedang dalam konsep agama prinsip HAM dan demokrasi dibatasi oleh prinsip benar-salah sebagaimana telah ditetapkan oleh agama.sehingga yang tidak benar,yang buruk yang tidak baik tidak bisa diberi ruang untuk eksist atau tidak bisa dibenarkan hanya berdasar kepada prinsip HAM dan demokrasi Jadi bahasan seputar prinsip HAM dan demokrasi tak harus bermuara pada anggapan bahwa dalam agama tak ada konsep demikian sebab bila mau digali seluruh yang benar dan baik serta bermanfaat ada dalam agama hanya saja apapun yang ada dalam agama tentu tidak berlandaskan kepada prinsip liberalisme (keinginan untuk bebas tanpa batasan yang ditentukan Tuhan).sebab demi kebaikan manusia dalam agama kebebasan itu dibatasi oleh rambu rambu yang telah ditetapkan persis seperti pengguna jalan raya dibatasi oleh rambu lalin,tentu maksudnya tiada lain agar pengguna lalin terjaga keselamatannya bukan untuk tujuan mengekang.( manusia ingin bebas-bebas-bebas tapi tidak tahu apa yang ada didepannya).
Wallahu‘alam
..
0 komentar:
Posting Komentar