Gusti Muhammad Seman Pahlawan Daerah yang Terlupakan
Oleh : Nasrullah
Tepat berada di atas sebuah bukit, di tengah kota Puruk Cahu yang sekarang menjadi Ibukota Kabupaten Murung Raya. Terdapat sebuah komplek pemakaman. Pada salah satu nisan terbuat dari kayu ulin terdapat tulisan menggunakan aksara Arab melayu, sayangnya tulisan itu tidak bisa terbaca dengan jelas, sementara rumput ilalang di sekitar makam bahkan lumut disekitar nisan tumbuh liar di komplek pemakaman ini.
Penduduk setempat mengatakan komplek itu telah dimakamkan sejumlah tokoh pejuang, yang terkenal adalah Gusti. Muhammad Seman. Putera Pahlawan Nasional Pangeran Antasari. Menurut Catatan sejarah Gusti Muhammad Semanlah yang berjuang dan meneruskan perjuangan ayahnya melawan penjajahan Belanda. Di Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito, yang dikenal dengan Perang Barito.
Menurut Yustan Aziddin dkk, (1982) Yang dimaksud dengan perang Barito di sini sebetulnya adalah kelanjutan dari Perang Banjar yang meletus sejak tahun 1950 sejak dimulainya penyerangan terhadap benteng Belanda pada tambang batubara Oranye Nassau Pengaron.
Setelah tahun 1863, perang Banjar sebetulnya sudah bergeser ke daerah hulu, sungai Barito. Secara umum dapat dikatakan bahwa perlawanan di daerah Martapura-Tanah Laut, Rantau-Kandangan-Barabai-Amuntai sudah menurun.
Setelah tahun 1863, perang Banjar sebetulnya sudah bergeser ke daerah hulu, sungai Barito. Secara umum dapat dikatakan bahwa perlawanan di daerah Martapura-Tanah Laut, Rantau-Kandangan-Barabai-Amuntai sudah menurun.
Peristiwa Desember 1859
Antara Perang Banjar dan Perang Barito terdapat sebuah hubungan yang erat yakni sama-sama berjuang melawan penjajahan belanda, meskipun demikian dalam perang Barito tidak bisa dikesampingkan keikut-sertaan suku Dayak yang berada di daerah Bakumpai (Marabahan) hingga Murung dalam berperang melawan Belanda.
Antara Perang Banjar dan Perang Barito terdapat sebuah hubungan yang erat yakni sama-sama berjuang melawan penjajahan belanda, meskipun demikian dalam perang Barito tidak bisa dikesampingkan keikut-sertaan suku Dayak yang berada di daerah Bakumpai (Marabahan) hingga Murung dalam berperang melawan Belanda.
Penyebabnya adalah ketika meredanya perang Banjar, sebagaimana telah dijelaskan di atas. Pangeran Antasari, menurut Prof. Usop (1994) bersama Puteranya Gusti Muhammad Seman atau Matseman, Deman Leman dan pasukannya bergerak mundur, mereka mudik sungai Barito untuk bergabung dengan pasukan-pasukan perlawanan lainnya di kalangan suku Dayak (Bakumpai, Dusun, Ngaju, Temboyan dan Murung).
Pada Perang Barito, Belanda ternyata mendapatkan perlawanan yang hebat, sebab pada tanggal 26 Desember 1859 terjadi pertempuran sengit di Lontontuor sebuah daerah antara Mantalat dan Muara Teweh. Berhasil di tenggelamkannya Kapal Perang Belanda yakni kapal Onrust. Perang di atas air itu Surapati berhasil menewaskan Komandan Van der Velde, beserta seluruh anak buahnya. Keberhasilan Surapati diabadikan dalam tutur bahasa Siang Murung “Tamanggung Ujung tempon tarong, Tamanggung Oroi Tempon Patoy” (Tamanggung Unjung menjadi termasyhur, Temanggung Oroi yang membunuh; Tumenggung Unjung adalah nama Surapati sebelum ia diberi gelar atas jasa-jasanya sebagai “Tamanggung Surapati” Oleh Gusti Muhammad Seman akhirnya sebagai Sultan).
Akhir Kesultanan Banjar
Berdirinya kembali system sultan atau Pagustian oleh Muhammad Seman, ternyata mempunyai nilai diplomatis yang tinggi. Artinya berperang dengan Belanda tidak hanya dengan upaya fisik belaka. Disamping melawan intervensi Belanda terhadap kesultanan Banjar, seperti pengangkatan Pangeran Tamjidillah sebagai putera Mahkota.
Berdirinya kembali system sultan atau Pagustian oleh Muhammad Seman, ternyata mempunyai nilai diplomatis yang tinggi. Artinya berperang dengan Belanda tidak hanya dengan upaya fisik belaka. Disamping melawan intervensi Belanda terhadap kesultanan Banjar, seperti pengangkatan Pangeran Tamjidillah sebagai putera Mahkota.
Diperkuat pendapat Gusti Hindun (2001) keturunan Gusti Muhammad Seman, bahwa pengangkatan raja dari Kesultanan Banjar ditentukan oleh Belanda dengan dasar melalui berbagai perjanjian yang diselenggarakan Belanda dengan Kesultanan Banjar.
Secara mendalam Yusliani Noor (2001) menganalisa bahwa Sultan Muhammad Seman sengaja mendirikan Pagustian dengan maksud meneruskan kerajaan Banjar, meskipun kerajaan itu telah dihapuskan Belanda. Kiranya Sultan ini membangun strategi politik yang cukup membingungkan Belanda. Artinya, meskipun secara formal Belanda telah menghapus kerajaan Banjar, tetapi bagi Rakyat Banjar tetap merasa memiliki Sultan yang membela kepentingan mereka, yakni Pagustian di Gunung Bondang di Udik Sungai Lawang dan Menawing.
Sampai sekarang, menurut cerita dari mulut ke mulut. Masih ada keturunan Pagustian dari Muhammad Seman tersebut yang hidup di daerah pedalaman Barito. Mereka beranggapan masih terjadi perang melawan Belanda, belum menyadari telah merdeka.
Perjuangan Gusti Muhammad Seman termasuk sebuah perlawanan yang besar dan gigih sebab terjadi koalisi dengan masyarakat Dayak, hingga Belanda akhirnya mengirimkan pasukan Elitnya, terlatih secara istimewa untuk menghadapi ketangguhan perlawanan para pejuang. Pasukan ini hanya diterjunkan pada daerah yang sukar ditumpas.
Berakhirnya perlawanan Gusti Muhammad Seman setelah menghadapi gempuran dahsyat Marsose pasukan elit Belanda. Bulan Januari 1905 (versi Prof. Usop 1911) Muhammad Seman gugur akibat tertembak dibenteng Manawing. Berakhir pula perlawanan kesultanan Banjar
Ternyata dari sejarah perjuangan Gusti Muhammad Seman, ada beberapa hal yang menarik untuk dicermati sebagai berikut ;
Ternyata dari sejarah perjuangan Gusti Muhammad Seman, ada beberapa hal yang menarik untuk dicermati sebagai berikut ;
Pertama. Berdirinya kesultanan Banjar di Barito merupakan hal yang tidak pernah dilakukan pendahulunya dan sebagai upaya Gusti Muhammad Seman untuk menegakkan legitimasi dan mempertahan kesultanan Banjar yang sebenarnya. Karena sebelumnya telah terjadi intervensi Belanda terhadap kedaulatan kerajaan Banjar, untuk menciptakan pemerintahan boneka.
Kedua. Gusti Muhammad Seman berhasil meregenerasi atau mencetak kader pejuang. Bisa dibuktikan dengan adanya perjuangan Panglima Batur dan Panglima Wangkang, kemudian “Amuk Hantarukung” oleh dua orang bersaudara Bukhari dan Santar di Kandangan yang juga pengikut Gusti Muhammad Seman, juga anaknya sebagai sosok perempuan pejuang yakni Ratu Zaleha, atau perempuan dari suku Dayak bernama Bulan Jihad. Dan para pejuang lainnya.
Ketiga, Selama perang Barito dari Marabahan, Buntok, Muara Teweh sampai Puruk Cahu, secara langsung telah terjalin hubungan antar daerah sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito dan persatuan antar suku Dayak untuk bersatu melawan Belanda. Boleh jadi pula meskipun dengan gugurnya Gusti Muhammad Seman ternyata hanya menandai berakhirnya perlawanan kesultanan Banjar tapi tidak demikian dengan perlawanan Dayak.
Kini, dan mungkin di bukit yang bernama Gunung Sultan, tempat dimakamnya Gusti Muhammad Seman. Rumput-rumput itu masih tumbuh liar di sekitar kompleks pemakaman. Entah apa yang harus kita lakukan setidaknya untuk mengingat kepahlawanan Gusti Muhammad Seman.
Terbit di Harian Banjarmasin Post, 4 Januari 2003
0 komentar:
Posting Komentar