Sejarah Putri Junjung Buih
Mencari jejak sejarah Banjar di Kalimantan maka tak bisa menghindari mitos yang berkembang di masyarakat Banjar itu sendiri. Terlepas dapat dibuktikan atau tidak, setidaknya mitos bisa menjadi pintu masuk ketika ingin menyusuri sejarah Banjar. Ini dilakukan sebagai bentuk menjunjung tinggi kearifan lokal yang ada di tanah Banjar itu sendiri. dengan kata lain, menerima mitos berangkat dari pemahaman bahwa adanya sesuatu yang ghaib di dunia ini.
Tersebutlah kisah tentang Putri Junjung Buih. Jauh sebelum kemunculan Putri Junjung Buih, di tanah Banjar ini pernah kedatangan seorang saudagar benama Mpu Jatmika yang berasal dari Keling. Mpu Jatmika tidak sendirian tapi bersama dua orang anaknya yang bernama Lambung Mangkurat dan Mpu Mandastana.
Sebelum memutuskan untuk menetap, Mpu Jatmika terlebih dahulu mengambil tanah lantas mengendusnya. Ternyata tanah tersebut berbau harum. Dari situlah Mpu Jatmika yakin bahwa daerah yang sebelumnya memiliki nama Banjar ini cocok dibangun sebuah negeri.
Sebagai realisasinya, Mpu Jatmika mendirikan kerajaan bernama Dipa dengan ibukotanya bernama Kuripan dan mengangkat dirinya untuk menjadi raja sementara di kerajaan tersebut. Bukan tanpa alasan kenapa Mpu Jatmika menyatakan bahwa dirinya hanya sebagai raja sementara. Alasannya adalah karena Mpu Jatmika menyadari bahwa dirinya bukanlah keturunan raja dan takut akan kutukan. Ini menyiratkan bahwa Mpu Jatmika memiliki pemahaman bahwa Mpu Jatmika sadar akan takdir, bahwa semua kewajiban manusia telah ditetapkan oleh takdir dan kedudukan raja telah dikodratkan oleh Tuhan.
Lantas, bagaimana implementasi Mpu Jatmika terhadap pemamahan tersebut? Bukankah menjadi raja sementara sama saja dengan menjadi raja?
Untuk menyiasati takdir dan takut akan kutukan, meski ia telah meniatkan hanya menjadi raja sementara, Mpu Jatmika memerintahkan anak buahnya membuat patung dari kayu cendana. Patung itulah yang kemudian dijadikan raja sebagai bentuk visualisasi dari Mpu Jatmika. Dalam praktiknya, Mpu Jatmika yang mengendalikan negara Dipa namun rajanya adalah patung tersebut di atas.
Negara Dipa tumbuh subur dan makmur. Untuk memperluas wilayah, Mpu Jatmika memerintahkan Tumenggung Tatah Jiwa untuk mewujudkannya. Satu persatu wilayah seperti Batang Tabalong, Batang Balangan, Batang Petak, Batang Alai, Batang Amandit beserta bukit-bukit di sekitarnya berhasil ditundukkan. Sebaagai bentuk kemenangan, di setiap wilayah yang berhasil ditundukkan, Tumenggung Tatah Jiwa mengangkut 1000 orang penduduknya untuk dibawa ke ibukota kerajaan. Dari sini bisa dilihat bahwa peperangan di zaman dahulu bukan untuk menghabiskan nyawa manusia tapi untuk meningkatkan jumlah tenaaga manusia.
Kemakmuran negara Dipa kemudian banyak mendapat kunjungan dari pedagang Cina, Johor, Aceh, Bugis, Makassar, Sumbawa, Bali, Jawa, Banten, Madura, Tuban, Makau, dan Kaling.
Sebelum Mpu Jatmika wafat, ia meninggalkan wasiat agar Lambung Mangkurat dan Mpu Mandastana jangan berniat untuk menjadi raja, sebab mereka bukanlah keturunan raja. Bahkan dalam wasiat tersebut Mpu Jatmika menyuruh Lambung Mangkurat pergi bertapa untuk mencari petunjuk tentang raja yang sah.
Setelah Mpu Jatmika wafat, Lambung Mangkurat segera melaksaakan wasiat tersebut di atas. Lambung Mangkurat melakukan tapa brata (orang Banjar kemudian mengenalnya dengan istilah balampah). Tapa brata tersebut sesuai isi wasiat dilaksanakan di sebuah sungai. Saat bertapa, pusaran air keluar buih yang bersinar dan muncul seorang putri. Dari situlah kemudian diberi nama Putri Junjung Buih dan selanjutnya menjadi ratu di negara Dipa.
sumber: (Ringkasan bebas dari buku ‘Sejarah Banjar’ terbitan Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Propinsi Kalsel, 2003)
0 komentar:
Posting Komentar