Selasa, 07 Oktober 2014

Tragedi Sampit Dilihat dari berbagai sudut


Peristiwa Sampit dari kacamata "urang Bajar" <-- subject
Sampit yang baru-baru ini jadi berita hangat di negeri ini menjadi sebuah
kota yang digambarkan begitu menakutkan karena pertikaian etnis (saya
katakan di sini "pertikaian etnis" murni...tidak ada faktor SARA lainnya).
Masyarakat Dayak adalah masyarakat tradisional yang memegang teguh harkat
dan harga diri. Sejak "peradaban" masuk ke dalam kehidupan mereka, budaya
"kekerasan" yang dahulu secara turun-temurun mulai ditinggalkan.
Gambaran kasar tentang orang dayak secara umum, dilihat dari pengalaman saya
dan cerita dari beberapa orang yang sempat saya ajak bicara adalah; Orang
Dayak adalah masyarakat tradisional dan mempunyai sifat pemalu terhadap
pendatang. Tidak jarang saya jumpai masyarakat Dayak yang lari bersembunyi
dan hanya berani mengintip dari balik papan dinding rumahnya bila melihat
orang asing datang mendekat.
Namun, masyarakat Dayak mempunyai sistem kekerabatan dan persatuan yang kuat
antar masyarakat Dayak di seluruh pulau Kalimantan (termasuk Dayak di
wilayah Malaysia).
Saya punya pengalaman pribadi saat mencoba membuat karya foto tentang mereka
(Dayak)...ternyata sulit sekali melakukan pendekatan kepada mereka agar
bersedia di foto. Kebetulan saya ingin sekali membuat foto "portraiture"
sosok orang Dayak. Hehehehe...udah abis sebungkus rokok kretek yang terpaksa
saya beli (kan rokok gue bukan kretek) buat melakukan aksi
perdekatan...eehh...hasilnya nggak sesuai dengan keinginan....hehehehehe.

Kenapa orang Dayak jadi beringas terhadap etnis Madura..?????
Terus terang, sebagai keturunan suku terdekat dari suku Dayak (Banjar), saya
sendiri kaget melihat keberingasan mereka....ternyata ada benarnya juga
cerita "Dayak makan orang" yang dulu sekali pernah saya dengar...hehehehe.
Banyak sebab yang membuat mereka seakan melupakan asazi manusia, baik sebab
langsung maupun tidak langsung.
Masyarakat Dayak di Sampit seperti selalu "terdesak" dan selalu mengalah dan
memang mereka lebih suka memilih mengalah.
Dari kasus pelarangan menambang intan di atas "tanah adat" mereka sendiri
karena dituduh tidak memiliki izin penambangan, sampai kampung mereka harus
berkali-kali berpindah karena harus mengalah dari para penebang kayu yang
terus mendesak mereka makin ke dalam hutan. Sayangnya, kondisi ini
diperburuk lagi oleh ketidakadilan hukum yang seakan tidak mampu menjerat
pelanggar hukum yang menempatkan masyarakat Dayak menjadi korban kasus
tersebut. Tidak sedikit kasus pembunuhan orang dayak (sebagian besar
disebabkan oleh aksi premanisme Dayak-Madura) yang merugikan masyarakat
Dayak karena tersangka (kebetulan orang Madura) tidak bisa ditangkap oleh
aparat yang "katanya" penegak hukum.

Dalam keseharian Masyarakat Dayak, kehidupan mereka ternyata jauh dari
anggapan kita yang mengira bahwa mereka itu beringas. Mereka ternyata sangat
pemalu, menerima para pendatang, dan tetap menjaga keutuhan masyarakatnya
baik religi dan ritual mereka. Mereka tidak pernah mengganggu para penebang
kayu yang mendesak mereka untuk terus mengalah. Mereka tidak pernah
menentang anggota masyarakatnya yang ingin masuk agama yang dibawa oleh
orang-orang pendatang. Mereka dengan ringan-tangan membantu masyarakat
sekitarnya. Mereka tidak pernah membawa mandau, sumpit, ataupun panah ke
dalam kota Sampit untuk "petantang-petenteng".

Etnis madura yang juga punya latar belakang budaya "kekerasan" ternyata
menurut masyarakat Dayak dianggap tidak mampu untuk beradaptasi (mengingat
mereka sebagai "pendatang"). Sering terjadi kasus pelanggaran "tanah
larangan" orang Dayak oleh penebang kayu yang kebetulan didominasi oleh
orang Madura. Hal inilah yang menjadi salah satu pemicu "perang antar etnis
Dayak-Madura".

Entah bagaimana cara mereka (Dayak) membedakan suku Madura dengan suku-suku
lainnya, yang jelas suku-suku lainnya luput dari "serangan beringas" orang
Dayak.
Banyak yang mengaitkan peristiwa-peristiwa aneh selama "perang" tersebut
dengan kepercayaan animisme Dayak (Kaharingan). Banyak kolega-kolega saya
yang baru pulang dari Sampit menceritakan keberingasan orang Dayak dan
peristiwa-peristiwa aneh selama "perang" tersebut, sampai pada mitos
masyarakat Dayak tentang "Panglima Burung" yang mampu memenggal kepala orang
tanpa menyentuh sedikit-pun. Yang perlu diketahui adalah; saat ini di Sampit
bukan saja masyarakat dayak Sampit yang berada di sana, tetapi juga ada 5
suku besar Dayak lainnya dari beberapa propinsi di pulau Kalimantan (saya
nggak tau apakah Dayak di wilayah Malaysia juga ada....kalau ada jadi total
6 suku besar). Bayangkan, masyarakat Dayak yang sebelumnya bukan masyarakat
mayoritas di sana, saat terjadi "perang" jumlah mereka berlipat ganda.
Dari riwayat budaya Dayak, kalau 6 suku tersebut sudah berkumpul, berarti
PERANG BESAR...!!

Pengungsian besar-besaran masyarakat suku lain (selain Dayak dan Madura)
hanya dikarenakan rasa ngeri melihat "perang" dan lumpuhnya perekonomian
Sampit. Alhamdulillah, beberapa rekan saya di sana (kebetulan bukan suku
Madura) masih aman-aman saja. Suku Dayak tidak merusak Gereja, Mesjid, atau
rumah peribadatan lainnya. Bahkan ada cerita yang mengabarkan bahwa mereka
(Dayak) tidak menyerang orang (madura) yang sempat bersembunyi di dalam
Masjid atau Gereja.

Kenapa Madura..???
Dari hasil pengamatan saya, dan dari cerita rekan-rekan saya, masyarakat
suku Madura banyak "petantang-petenteng" di sana, bahkan bukan cuma di
Sampit...di Banjarmasin-pun mereka terkenal dengan sifat mereka itu.
Penilaian ini bersifat menyamaratakan anggapan "kekerasan" suku Madura
lhoo...memang tidak semuanya begitu. Dari cara mereka melakukan usaha dalam
bidang perekonomian saja, mereka terkadang dianggap terlalu "kasar" oleh
sebagian besar masyarakat Dayak, bahkan masyarakat Banjar sekalipun. Banyak
cara-cara pemaksaan untuk mendapatkan hasil usaha kepada konsumen mereka.
banyak pula tipu-daya yang mereka lakukan. Sekali lagi, tidak semua suku
Madura bersifat seperti ini.
Jadi, berita atau anggapan tentang kecemburuan sosial-ekonomi yang menjadi
penyebab pecahnya "perang" tersebut dari hasil pengamatan dan penilaian saya
adalah TIDAK BENAR.
Masyarakat Dayak tidak pernah peduli dengan nilai nominal. Mereka bisa saja
dengan suka rela ber"barter" dengan para pendatang tanpa proses
perpindah-tangannan uang. Mereka lebih memilih barter dengan kopi, gula,
garam, atau bahkan sebungkus rokok.
Penjarahan yang terjadi di Sampit lebih banyak dilakukan oleh suku-suku
pendatang lain yang tidak menjadi sasaran amuk suku Dayak

Sekali lagi.....tulisan ini cuma bertujuan untuk menjelaskan keadaan Sampit
saat ini khususnya budaya orang Dayak, dan tidak ada maksud apapun. Sekedar
informasi, waktu perjalanan darat dari Banjarmasin-Sampit kira-kira 24
jam...non-stop. Alhamdulillah di Banjarmasin masih "aman-terkendali"
(hehehe....pake bahasa laporan pandangan mata kaya' di Radio....hehehe).
Sebenernya pengen sih cerita keanehan-keanehan yang terjadi di sana...tapi
saya nggak liat sendiri sih...jadi belum yakin banget kebenarannya. Yang
pasti, legenda "Panglima Burung" sedang trend di Banjarmasin...hehehehehe.

0 komentar:

Posting Komentar

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com