Sumur tua Lubang Buaya adalah sumur tempat pembuangan para Pahlawan Revolusi yang dibunuh secara biadab oleh PKI pada Jumat, 1 Oktober 1965. Sumur tua berlubang sempit di tengah perkebunan karet itu adalah bagian “saksi” dari pergantian periode sejarah bangsa Indonesia, dari masa Orde Lama ke Orde Baru. Lalu, apa hubungannya dengan seorang agen polisi bernama Sukitman?
Berawal pada dini hari yang amat mencekam, sepi, dan bersejarah, ada polisi berpangkat Agen Polisi II bernama Sukitman. Ia mendapat tugas jaga di Guest House Iskadarsyah (Wisma AURI) menjaga tamu negara dari Korea, tamu Men/Pangal, bersama rekannya, Agen Polisi Tingkat II Sutarno. Setelah mengadakan pemeriksaan di sekitar tempat jaga dan diyakini dalam situasi aman, Sukitman dan Sutarno duduk sambil bersenda gurau.
Di pagi buta itu, tiba-tiba keduanya mendengar tembakan berkali-kali. Diperkirakan, itu berasal dari arah utara. Diperkirakan Mabak (Markas Besar Kepolisian) mendapat serangan. Dengan segera Sukitman mengayuh sepedanya dan berpesan pada Sutarno agar menjaga pos dengan baik. Di jalan, Sukitman dicegat orang agar berhenti dan melempar senjata, serta angkat tangan. Pencegat mengira Sukitman adalah ajudan DI Panjaitan yang sedang diculik. Akhirnya, Sukirman disiksa dan diikat, bahkan matanya ditutup, ditempatkan di sebuah rumah yang akhirnya diketahui itu berada di Lubang Buaya.
Pada agi 1 Oktober 1965, Sukitman sendiri menyaksikan kesadisan PKI dengan “Angkatan Kelima” yakni Gerwani dan Pemuda Rakyat menyiksa serta membunuh enam jendral, serta seorang perwira menengah, ajudan Jendral A.H. Nasiton, yang gagal diculik. Mereka disiksa, ditusuk, ditendang, diseret ke sebuah sumur tua, lalu dimasukkan dengan kepala pertama serta diberondong dengan tembakan. Uniknya, setiap menerjunkan mayat, dibarengi denan teriakan “ganyang Kabir (Kapitalis Birokrat)!” — sebutan untuk para jendral yang dibunuhnya. Sukitman merasa ngeri dan takut. Ia lantas pura-pura mati agar tak disiksa oleh pasukan biadab itu.
Di tempat itu, Sukitman diawasi dan diwawancara oleh Lettu Pol Arief dengan sopirnya Kopral Ishak. Setelah pembantaian selesai dan Gerwani serta Pemuda Rakyat mencari dedaunan sebagai penghilang jejak, maka Lettu Pol Arief mengajak Sukitman berangkat ke Halim Perdana Kusuma. Karena kepayahan setelah mendapat suguhan, Sukitman tertidur di bawah truk yang membawa para penculik dari pasukan Cakrabairawa dan Pasukan Jawa Tengah, di bawah pimpinan Letkol Untung, dari Cakrabairawa, Kolonel Latief dari Kostrad, dan Brigjen Soepardjo yang datang khusus dari Banjarmasin.
Siang hari pada 3 Oktober 1965, Sukitman diselamatkan oleh pasukan pemerintah di bawah asuhan empat angkatan — AD, AL, AU, dan AKRI. Sukitman dihadapkan pada Kolonel Sarwo Edi Wibowo, Komandan RPKAD. Sukitman diminta membuat denah sumur tua tempat pembuangan mayat para jendral itu. Berbekal denah dan petunjuk yang diberikan oleh Jendral Umar Wirahadikusuma (Mantan Wapres), serta petunjuk dan penghargaan dari Mayjen Soeharto atas keterangannya tentang tempat penimbunan mayat para jendral, maka Sukirman pun menjadi guide penemu sumur tua Lubang Buaya.
Dalam pencarian itu, Sukitman hampir putus asa karena tempat itu telah ditimbun sampah dan dedaunan. Berkat kuasa Tuhan, maka sumur itu pun akhirnya ditemukan. Ketujuh jendral Pahlawan Revolusi itu dapat diangkat, disaksikan langsung Mayjen Soeharto, dan pemakamannya di Taman Makam Kalibata dilakukan dengan inspektur upacara A.H. Nasution yang masih pincang. Putri beliau yang masih TK, Ade Irma Nasution, terbunuh dengan brondongan senjata pembrontak PKI.
Angka Keramat
Lalu, di sisi lain, timbul pertanyaan, mengapa G 30 S/PKI gagal? Apakah mantan Presiden Soeharto terlibat G 30 S/PKI? Kedua pertanyaan ini perlu mendapat jawaban, sejalan dengan pandangan Sukitman dalam tulisan ini. Perlu diingat, saat kritis Sukitman mengaku ingat pada “ibunya” di kampung, dan tetap berdoa. Adakah ibu yang dibayangkan Sukitman adalahj Ibu Pertiwi Indonesia Raya yang secara khusus melindungi bahkan mengirimnya sebagai saksi hidup gerakan PKI itu?
Kalau saja tidak ada Sukitman yang ketika mendapat tugas khusus Ibu Pertiwi, mungkin saja jenazah para Pahlawan Revolusi itu akan hilang karena saat penggalian datang pasukan Cakrabairawa yang menyatakan atas perintah Presiden Soekarno untuk menggali mayat di Lubang Buaya.
Ada perkiraan, kegagalan G 30 S/PKI karena salah strategi, akibat menganggap enteng Mayjen Soeharto yang pendiam, tak banyak bicara, tak banyak dikenal, sehingga terlupakan untuk diculik. Memang Latief mendapat tugas khusus pada malam tanggal 30 September 1965 untuk membujuk Soeharto agar masuk gerakan Dewan Revolusi, menandingi Dewan Jendral, namun gagal, karena saat ke Rumah Sakit RSAD, Latief tak sempat mengutarakan niatnya.
Lalu muncul pula pertanyaan, apakah Soeharto terlibat G 30 S/PKI? Dengan tegas Sukitman menjawab bahwa Soeharto tidak terlibat. Sebab, setelah pengumuman Dewan Revolusi oleh Untung, Presiden Soekarno pada 2 Oktober 1965 menugaskan Soeharto memulihkan keamanan. Bahkan penulis asing buku “Soekarno File”, Antonie CA Dake menyatakan, sampai turunnya Soeharto pada 21 Mei 1998, tidak ada bukti keterlibatannya dalam gerakan G 30 S/PKI.
Keteledoran lain, Sukitman yang sudah pasrah dan pura-pura mati ternyata dibiarkan saja. Para pembrontak menganggap enteng Sukitman karena pangkatnya amat rendah. Akibatnya, Sukitman menjadi inti kegagalan pemberontak karena dengan informasinya mempermudah pencarian mayat para jendral. Bahkan, secara tegas Sukitman masih ingat kejamnya Gerwani dan Pemuda Rakyat sehingga secara gampang ditebak pelakunya adalah PKI.
Terakhir, angka 2 (dua) juga amat sakral bagi Sukitman. Berkat jasanya, maka Sarwo Edi semasa menjabat di Deplu mengirim surat pada Kapolri Jendral Dr. Awaludin Djamin, agar Sukitman mengikuti Secapa Kilat Polri. Berkat jasanya menjadi guide, Sukitman pensiun dengan pangkat Letkol hanya dalam tiga jam. Jadi, pundaknya menyandang “Melati Dua”. Dan Sukitman adalah bagian dari sejarah.
sumber :http://history1978.wordpress.com
0 komentar:
Posting Komentar