Rabu, 16 April 2014

ALASAN-ALASAN MELAKUKAN PERUBAHAN UUD 1945




A.Mukhtie Fadjar dalam Pidato Pengukuhan guru Besarnya “Reformasi Konstitusi dalam masa Transisi Paradigmatik” mengemukakan lima alasan perlunya melakukan perubahan terhadap UUD 1945, yaitu historis, filosofis, teoritis, yuridis, dan politik-praktis. Pertama, secara historis, pemikiran yang mendorong perubahan UUD 1945 terkait dengan sifat kesementaraan UUD. Hal ini secara tegas dinyatakan oleh Soekarno sebagai berikut: “UUD yang dibuat sekarang adalah UUD Sementara. kalau boleh saya memakai perkataan, ini adalah UUD kilat. Nanti kalau kita telah bernegara, di dalam suasana yang lebih tentram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis permusyawaratan rakyat yang dapat membuat UUD yang lebih lengkap dan lebih sempurna.” Dalam kesempatan pelantikan anggota Konstituante pada tanggal 10 November 1956, Soekarno mengulangi kembali pernyataan yang hampir senada sebagai berikut: “kita bukan tidak punya konstitusi, malahan dengan konstitusi yang berlaku sekarang (UUD Sementara 1950,pen.) kita sudah mempunyai tiga konstitusi. Tapi semua konstitusi itu (UUd 1945, KRIS 1949 dan UUD Sementara 1950,pen.) adalah bersifat sementara. Semua konstitusi itu bukanlah hasil permusyawaratan antara angggota-anggota sesuatu konstituanse yang dipilih langsung oleh rakyat dalam pemilihan umum yang bebas dan rahasia. Semua konstitusi itu adalah buatan sarjana konstitusi, atas amanat pemerintah. Tapi semua Negara hukum yang demokratis, menghendaki sebagai syarat mutlak sebbuah konstitusi yang dibuat oleh tangan rakyat sendiri”. Alasan Soekarno mengatakan konstitusi sebagai konstitusi sementara terkait dengan kondisi obyektif yang berada di sekitar persiapan dan penetapan UUD 1945 itu sendiri. Ketika itu, dalam suasana perang dan peralihan dari kekuasaan Jepang kepada Sekutu yang menyebabkan kekosongan kekuasaan di Indonesia, para pendiri negara tidak mungkin membuat konstitusi yang sempurna. Bagi mereka, yang paling penting Indonesia merdeka dan ada hukum dasar yang menjadi landasan konstitusional terbentuknya negara yang merdeka. Kedua, alasan substantive. Selain sifat kesementaraan itu, perubahan terhadap UUD 1945 tidak terlepas dari kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam UUD 1945 sehingga tidak pernah menampilkan pemerintahan yang demokratis. Kelemahan itulah yang menjadi alasan kuat (raison d’etre) untuk mengubah konstitusi hasil karya pendiri bangsa ini.
Berdasarkan hasil kajian Kelompok Kerja Reformasi Hukum dan Perundang-undangan yang dibentuk Presiden Habibie, sebelum perubahan UUD 1945 memiliki lima kelemahan mendasar, yaitu :
1. Struktur ketatanegaraan yang sangat executive-heavy
2. Tidak cukup mengatur checks and balances
3. Terdapat ketentuan yang tidak jelas (vague)
4. Terlalu banyak delegasi kepada undang-undang
5.  Beberapa muatan Penjelasan UUD 1945 yang tidak konsisten dengan pasal-pasal dalam UUD 1945 Selain itu Kelompok Kerja menambahkan terdapat banyak kekosongan (rech vacuum) yang seharusnya diatur dalam UUD 1945.
  Secara substansi, UUD 1945 sangat executive-heavy dan sangat minum checks and balances. Hal ini tidak terlepas dari keinginan pendiri Negara yang ingin memberikan kekuasaan yang lebih besar bagi eksekutif tanpa menentukan batas-batas kekuasaan secara jelas dan minus checks and balances sehingga memberikan kekuasaan yang amat dominan kepada Presiden. Dalam system presidential, presiden cenderung diberikan kekuasaan yang relative besar, namun desain konstitusi harus cenderung mampu mengantisipasi agar presiden tidak menjadi pemimpin yang otoriter. Di Indonesia, kekuasaan besar yang diberikan tanpa control konstitusional yang memadai. Dalam ranah legislasi misalnya, meski sudah dijelaskan sebelumnya bahwa DPR dan Presiden merupakan pemegang kekuasaan legislasi, dalam praktek presiden jauh lebih dominan dibanding dengan DPR. Mahfud mengilustrasikan, sebuah RUU yang telah disetujui DPR jika tidak disahkan presiden, tidak dapat diajukan lagi. Begitu dominannya presiden, RUU yang sudah disetujui DPR dan pemerintah tidak disahkan oleh presiden. Contoh itu dapat ditambah lagi dengan pembubaran DPR oleh Presiden Soekarno karena lembaga ini menolak Rancangan APBN yang diajukan pemerintah. Sekalipun Penjelasan UUD 1945 menyatakan bahwa pemerintah tidak bersifat absolutisme dan Indonesia tidak berdasarkan kekuasaan belaka, namun dengan besarnya kekuasaan lembaga kepresidenan, sangat sulit terciptanya balance of power apalagi checks and balances di antara cabang kekuasaan pemerintah. Apalagi dorongan untuk menjadikan presiden menjadikan presiden mempunyai kekuasaan yang absolute dilegitimasi oleh Penjelasan UUD 1945 yang menyatakan “Presiden adalah penyelenggara pemerintahan negara tertinggi di bawah MPR”. Tidak cukup dengan hal itu, dalam menjalankan pemerintahan presiden menjadi pusat kekuasaan dan tanggung jawab penyelenggara negara (concentration of power and responisibility upon the President). Dalam hal terlalu banyak delegasi kepada undang-undang, Penjelasan UUD 1945 secara ekspisit menyatakan bahwa hukum dasar yang dirancang oleh para pendiri negara bersifat singkat dan supel. Berhubung dengan sifat itu, ditegaskan sebagai berikut: “Maka telah cukup jikalau UUD hanya memuat aturan-aturan pokok, hanya memuat garis-garis besar sebagi instruksi kepada pemerintah pusat dan lain-lain penyelenggara Negara untuk menyelenggarakan kehidupan Negara dan kesejahteraan social. Terutama bagi Negara batu dan Negara muda, lebih baik hukum dasar yang tertulis itu hanyya memuat aturan-aturan pokok, sedangkan undang-undang, yang lebih mudah cara membuat, mengubah, dan mencabut”. Berdasarkan hal itu, UUD 1945 memang telah dirancang sedemikian rupa dengan memberikan pendelegasian yang lebih rendah berupa undang-undang. Dari ketentuan yang ada, setidak-tidaknya UUD 1945 mendelegasikan 15 masalah penting penyelenggaraan negara kepada undang-undang. Masalah-masalah itu meliputi : komposisi keanggotaan MPR, syarat dan akibat keadaan bahaya, susunan Dewan Pertimbangan Agung, hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, susunan keanggotaan DPR, pajak, mata uang, keuangan Negara, susnan dan kedudukan kahakiman, syarat menjadi dan diberhentikan sebagai hakim, kewarganegaraan, kemerdekaan berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat, pertahanan Negara, dan pendidikan nasional. Jika diletakkan dalam teori konstitusi, sebagian masalah penting itu seharusnya diatur dengan materi hukum dasar bukan mendelegasikannya menjadi substansi undang-undang. Sebagaimana dinyatakan S.E. Finer, Vernon Bogdanor dan Bernard Rudden, konstitusi merupakan seperangkat norma yang bertujuan mengatur fungsi-fungsi kekuasaan serta tugas diantara berbagai lembaga negara dan mengatur hubungan antara lembaga itu termasuk hubungan dengan masyarakat. Dengan memberikan delegasi yang lebih banyak kepada undang-undang, sebagai the fundamental and organic law of a nation UUD 1945 dapat dikatakan mereduksi diri sendiri sebagai sebuah hukum dasar. Dalam batas-batas tertentu, jika undang-undang dasar memmberikan atribusi kewenangan untuk mengatur beberapa hal kepada undangt-undang dapat saja dikatakan wajar dan tidak menjadi masalah. Tetapi UUD 1945 terlalu longggar menyerahkan hal-hal yang amat fundamental kepada undang-undang. Dalam system ketatanegaraan yang mengabaikan checks and balances dengan konsentrasi kekuassaan di tangan presiden, sagat mungkin undang-undang mereduksi substansi UUD 1945. Keadaan akan makin bertambah buruk dengan model fungsi legislasi yang berada dalam kendali pemerintah. Salah satu contoh delegasi ke tingkat undang-undang yang mereduksi substansi konstitusi adalah undang-undang yang berhubungan dengan susunan keanggotaan DPR sepanjang kekuasaan Orde Baru. Pasal 19 ayat 2 UUD 1945 menyatakan “ susunan DPR ditetapkan dengan Undang-undang”. Dengan delegasi UUD 945 untuk menentukan susunan DPR, sejak Pemilihan Umum 1971-1999, sebaian anggota DPR diisi dengan cara penunjukan. Kecuali dalam 1990-an, sejak pemilihan umum pertama OrBa, 100 orang anggota DPR dianggap dari ABRI. Dengan delegasi itu, engineering yang dilakukan undang-undang seolah-olah benar. Kondisi itu diperparah dengan adanya atribusi undang-undang kepada pemerintah )presiden) dalam bentuk peraturan pemerintah dan/atau keputusan presiden. Sepanjang kekuasaan OrBa, seperti dikemukakan Mahfud, pemerintah (presiden) telah mengakumulasikan kekuasaan secara besar-besaran kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945 sehingga menjadi rezim otoriter. Selain masalah delegasi kepada undang-undang, sejumlah pasal UUD 1945 tidak jelas yang membuka peluang penafsiran yang bertentangan dengan prinsip negara berdasarkan konstitusi. Salah satu contoh klasik yang sering dikemukakan yaitu pasal 7 UUD 1945 yang menyatakan “Presiden dan Wakil Presiden memegang masa jabatan selama masa lima tahun, sesudahnya dapat dipilih kembali. Ketentuan yang terdapat dalam pasal 7 UUD 1945 secara jelas mengatur bahwa masa jabatan presiden adalah lima tahun. Ketidakjelasan dan multitafsir itu muncul dengan adanya frase “sesudahnya dapat dipilih kembali” karena tidak ada penegasan atau pembatasan untuk beberapa kali seseorang dapat menduduki jabatan presiden dan wakil presiden. Dengan adanya pembatasan itu, sejak kembali ke UUD 1945 pada 1959 sampai berakhirnya kekuasaan Presiden Soeharto 1998, tafsr yang dikembangkan dari frase “sesudahnya dapat dipilih kembali” adalah tanpa masa jabatan yang jelas (fex-term) atau durasi tanpa batas. Dalam bahasa Bambang Widjojanto, penafsiran itu kemudian dikendalikan tanpa batasan sampai kapan sesorang dapat menjabat sebagai presiden. Tafsir demikian didukung pandangan normative-legalistik yang dikembangkan sebagai pandangan standar dari kebenaran. Dengan tafsir itu, melalui Tap MPRS No. III/1960, Soekarno pernah ditetapkan sebagai presiden seumur hidup. Begitu juga masa Orde Baru, sekalipun tidak ditetapkan seperti Soekarno, Soeharto dipilih sebagai presiden secara berulang-ulang samapai tujuh kali. Selain masalah subsatnsi di atas, UUD 1945 terlalu percaya kepada orang bukan kepada system. Padahal semua teori konstitusi mengatakan, salah satu tujuan konstitusi adalah untuk membatasi kekuasaa negara. Misalnya, van Maarseven dan Ger van der Tang mengemukakan, constitution as a mean of forming the states on political and legal system. Pendapat ini menghendaki bahwa konstitusi harus menjadi dasar untuk membangun system politik dan system hukum. Dengan pengertian itu, system menjadi lebih penting dibandingan orang yang akan mengisi system. Bukan sebaliknya, individu lebih penting daripada membangun system. Secara substansi, Penjelasan UUD 1945 juga menimbulkan masalah (problematic) dalam penyelenggaraan negara. Sejak awal, Penjelasan UUD 1945 telah memicu pro-kantra. Salah satu penyebabnya, ketika PPKI menetapkan UUD 1945 tanggal 18 Agustus 1845, Penjelasan tidak menjadi bagian dari UUD 1945, Penjelasan pertama kali ditemukan dalam Berita Republik Indonesia (BRI) Tahun II No.7 tanggal 15 Februari 1946. Dari penelususran Simorangkir, Penjelasan merupakan buah pikiran Supomo yang kemudian dimasukkan bersama-sama Batang Tubuh UUD 1945. Selain itu, penjelasan juga menjadi tidak lazim karena tidak ada konstitusi yang memiliki penjelasan resmi. Apalagi, baik hukum atau kenyataana, Penjelasan diperlakukan dan mempunyai kekeuatan hukum seperti pasal-pasal (Batanng Tubuh) UUD 1945. Nnamun, problematik Penjelasan UUD 1945 yang sesungguhnya muncul karena muatannya tidak konsisten dengan pasal-pasal yang terdapat dalam pasal-pasal atau Batang Tubuh UUD 1945. Berdasarkan hasil kajian Kelompok Kerja Reformasi hukum dan Perundang-undangan, bagian-bagian yang tidak konsisten itu diantaranya, “Presiden diangkat oleh Majelis dan bertanggungjawab kepada Majelis”. Sementara dalam pasal 6 ayat (2) UUD 1945 dinyatakan “presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak. Dari kutipan di atas, tampak perbedaan antara bunyi Batang Tubuh dan Penjelasan, bahkan ada pertentangan. Dalam praktek, yang diikuti adalah MPR “mengangkat” bukan “memilih” Presiden dan Wakil Presiden. Karena itu, di bawah UUD 1945, sehjak kemaerdekaan sampai berakhirnya kekuasaan Soeeharto, presiden “diangkat” bukan “dipilih”. Bahkan, tambah Harun Alrasyid, selama keuasaan Ordde Baru, kaidah yang hidup dalam pengisian jabatan Presiden dan wakil Presiden adalah tradisi calon tunggal. Disamping itu, tentang “Presiden bertndak dan bertanggungjawab kepada MPR”. Sebagaimana diketahui, salah satu kelemahan UUD 1945, tidak ada pasal yang mengatur mengenai pertaggungjawaban presiden. Walaupun demikian tidak berarti penjelasan dapat serta merta menentukan “presiden bertindak dan bertanggungjawab kepada MPR”. Kemudian dalam praktek diartikan, MPR dapat memberhentikan presiden. Dalam perkembangan ketatanegaraan Indonesia, Presiden Soekarno (1967) dan Abdurrahman Wahid (2001) diberhentikan MPR dengan menggunakan pranata “persidangan istimewa” yang terdapat dalam Penjelasan UUD 1945. Ketiga, alasan Filosofis. Bagir Manan mengemukakan, secara filosofis, perubahan UUD 1945 dilakukan, pertama, UUD 1945 merupakan moment opname dari berbagai kekuatan politik dan ekonomi yang dominan pada saat dirumuskannya UUD 1945. Setelah digunakan dalam waktu yang cukup lama, tentu terdapat berbagai perubahan baik di tingkat nasional maupun global. Kedua, UUD 1945 disusun oleh manusia yang sesuai dengan kodratnya tidak akan pernah sampai pada tingkat kesempurnaan. Pekerjaan yang dilakukan manusia tetap memiliki berbagai kemungkinan kelemahan maupun kekurangan. Masih dari sudut filsafat kenegaraan, terdapat prinsip kedaulatan yang berpotensi saling menegasikan. Setidaknya, UUD 1945 menganut tiga bentuk kedaulatan, yaitu Kedaulatan rakyat, Kedaulatan hukum, dan Kedaulatan Negara. Dari ketiga hal itu, kadaulatan rakyat dan kedaulatan hukum dapat saling melengkapi. Tetapi kedaulatan Negara menjadi tidak sejalan dengan kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum. Dalam pelaksanaan pemerintahan, kedaulatan Negara akan dengan mudah menjelma menjadi system yang yang otoriter karena Negara dijelmakan oleh individu-individu yang menjalankan pemerintahan. Filsafat kenegaraan itu bisa makin rumit dengan pencampuradukkan antara paham kedaulatan rakyat dengan paham Negara integralistik. Keempat, alasan teoritis. Dalam praktek ketatanegaraan sering terjadi konstitusi tidak mampu lagi menampung perkembangan yang terjadi. Biasanya untuk mengatasi situasi itu, kondisi harus disesuaikan dengan perkembangan yang terjadi dalam praktek ketatanegaraan. Untuk itu, Karl Loewestein mengemukakan bahwa evaluasi terhadap konstitusi menjadi sesuatu yang esensial untuk mengetahui realitas perubahan yang terjadi. Dengan alasan untuk menyesuaikan dengan perkembangan yang terjadi, perubahan (amandemen) atau pembaruan (reform) konstitusi menjadi pilihan. Jika perubahan tidak dilakukan, ditambahkan oleh Karl Lewenstei, kontitusi akan kehilangan nilai normative karena apa yang diatur dalam konstitusi berbeda dengan yang dipraktekkan.
Kelima, secara praktis, sekalipun tidak mengubah teks, UUD 1945 sudah sering mengalami perubahan. Misalnya, keluarnya Maklumat No. X yang mengubah kedudukan KNP menjadi lembaga legislative yang sejajar dengan presiden. Maklumat ini juga mengamanatkan pembentukan Badan Pekerja KNP untuk melaksanakan tugas sehari-hari KNP. Kemudian, BP KNIP mengusulkan untuk mengubah system pemerintahan dari system presidensial menjadi system parlementer. Terkait dengan perubahan UUD 1945 tanpa mengubah teks, Moh. Fajrul Falaakh mengatakan teks UUD 1945 memang masih seperti katika disahkan pada 18 Agustus 1945, tetapi makna Utusan Golongan dalam keanggotaan MPR, independensi Mahkamah Agung, luas wilayah Negara, identifikasi atass cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak, tata cara perubahan UUD 1945, dan tafsir atas kontruksi ketatanegaraan. Keenam, alasan yuridis. Menyadari ketidak sempurnaan hasil kerja manusia, pembentuk konstitusi Amerika Serikat menyatakan “nothing human can be perfect. Surrounded by difficulties, we did the best we could; leaving it with those who should come after us to take counsel from experience, and exercise prudently the power of amandement, which we had provide…. Pendapat ini membuktikan bahwa perancang konstitusi menyadari perubahan menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindari karena kesulitan-kesulitan yang terjadi ketika konstitusi itu dirumuskan dan perubahan dinamika ketatanegaraan yang terjadi di kemudian hari. Untuk mengantisipasi hal ini, setiap konstitusi merumuskan landasan hukum untuk melakukan perubahan. Seperti pengalaman Amerika Serikat, para penyusun UUD 1945 juga membuat landasan hukum perubahan UUD 1945. Dalam hal ini, pasal 37 UUD 1945 ,menyatakan, (1) untuk mengubah UUD sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat harus hadir, dan (2) putusan diambil sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota yang hadir. Hadirnya pasal perubahan ini tidak dapat dilepaskan dari kelemahan-kelemahan dan kesulitan-kesulitan yang terjadi di sekitar proses perumusan UUD 1945. Apalagi, para pembentuk UUD 1945 secara eksplisit menegaskan bahwa UUD 1945 bersifat sementara. Karena kelemahan dan kesulitan yang ada serta sifat kesemenataraan itu, landasan hukum perubahan menjadi keniscayaan. Karena alasan-alasan tersebut, dalam buku Panduan Pemasyarakatan UUD Negarra Republik Indonesia Tahun 1945 yang diterbitkan oleh Sekretaris MPR RI dinyatakan bahwa terdapat tujuh tujuan pokok perubahan UUD 1945 berikut ini:
1. Menyempurnakan aturan dasar mengenai tatanan Negara dalam mencapai tujuan nasional yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 dan memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarka Pancasila.
2. Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan pelaksanaan kedaulatan rakyat serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan paham demokrasi
3. Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan perlindungan hak asasi manusia sesuai dengan perkembangan paham hak asasi manusia dan peradaban umat manusia yang sekaligus merupakan syarat bagi suatu negara hukum yang dicita-citakan oleh UUD 1945.
4. Menyempurnakan dasar penyelenggaraan negara secara demokratis dan modern, antara lain melalui pembagian kekuasaan yang lebih tegas, system saling mengawasi dan saling imbang yang lebih ketat dan transparan dan pembentukan lembaga-lembaga baru untuk mengakomodasi perkembangan kebutuhan bangsa dan tantangan zaman.
5. Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan konstitusional dan kewajiban Negara mewujudkan kesejahteraan social, mencerdaskan kehidupan bangsa, menegakkan etika, moral, dan solidaritas dalam kehiduan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan dalam perjuangan mewujudkan negara kesejahteraan
6. Melengkapi aturan dasar yang sangat penting dalam penyelenggaraan negara bagi eksistensi negara dan perjuangan negara mewujudkan demokrasi, seperti pengaturan wilayah negara dan pemilihan umum
7. Menyempurnakan aturan dasar mengennai kehidupan bernegara dan berbangsa sesuai dengan perkembangan aspirasi

0 komentar:

Posting Komentar

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com